Kuntoro Boga Andri. Alumnus IPB 1998, gelar Magister (2004) dan Doktor (2007) dari Saga dan Kagoshima University, Jepang. Peneliti Utama LIPI (2017) dan pernah sebagai Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2016-2018), Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (2018), sebelumnya Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan (2018-2024), dan Kepala Pusat BSIP Perkebunan (2024-2025). Sejak 25 Maret 2025 menjabat Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementan.
Saatnya Memanfaatkan Tepung Lokal: Membangun Kedaulatan Pangan dari Bumi Sendiri
Minggu, 11 Mei 2025 06:25 WIB
Konsumen perlu diberikan pemahaman produk olahan berbasis sagu dan tapioka bukan hanya sehat, tetapi juga menjadi pilihan cerdas bagi bangsa.
***
Di tengah ancaman krisis pangan global dan makin beratnya dampak perubahan iklim, Indonesia dihadapkan pada pilihan strategis yang tak bisa lagi ditunda. Terus bergantung pada impor gandum yang kini memasok hampir 90 persen kebutuhan tepung terigu nasional, atau beralih ke sumber karbohidrat lokal yang sejak lama terabaikan: sagu dan singkong. Dilema ini bukan hanya soal ketersediaan pangan, tetapi menyangkut kedaulatan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan masa depan generasi mendatang.
Kementerian Pertanian mencatat, setiap tahun Indonesia mengimpor tak kurang dari 9 juta ton gandum. Di balik angka tersebut tersembunyi ketergantungan yang rapuh, rentan terhadap fluktuasi harga dan gejolak geopolitik global. Ironisnya, di saat impor terus membengkak, Indonesia justru diberkahi dengan kekayaan alam yang luar biasa. Sekitar 5,5 juta hektare lahan sagu terbentang dari Papua hingga Riau, menjadikan Indonesia pemilik 85 persen cadangan sagu dunia. Produksi singkong nasional pun menempati urutan keempat terbesar di dunia. Namun, potensi besar ini seolah tidur lelap di balik tumpukan kebijakan yang tak berpihak dan minimnya inovasi industri.
Tepung Lokal: Pahlawan yang Terlupakan
Di balik hiruk-pikuk ketergantungan pada terigu, fakta menunjukkan bahwa sagu sesungguhnya lebih unggul untuk mendukung pola hidup sehat. Kandungan karbohidrat sagu mencapai 83 gram per 100 gram dengan indeks glikemik (IG) yang sangat rendah, hanya 28. Angka ini menjadikannya pilihan ideal bagi penderita diabetes dan mereka yang tengah menjalani diet rendah gula. Terigu, di sisi lain, memang kaya protein hingga 13 gram per 100 gram karena kandungan glutennya, tetapi memiliki indeks glikemik tinggi di atas 70. Sebaliknya, tapioka justru menjadi karbohidrat kosong; nyaris tak memiliki protein dan serat, dengan IG tertinggi di angka 85, yang hanya cocok dijadikan bahan pengental atau tambahan produk olahan.
Dari aspek lingkungan, sagu layak mendapat tempat istimewa dalam strategi ketahanan pangan nasional. Analisis siklus hidup menunjukkan bahwa produksi sagu hanya menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 38 kilogram CO₂ per ton pati, jauh lebih rendah dibandingkan tapioka yang mencapai 292 hingga 315 kilogram CO₂ per ton, dan terigu yang bahkan bisa menembus 620 kilogram CO₂ per ton.
Sagu tumbuh subur di lahan gambut dan rawa tanpa memerlukan irigasi intensif atau pupuk kimia, menjadikannya pahlawan iklim yang kerap terlupakan. Sebaliknya, ekspansi perkebunan singkong skala besar tanpa kontrol justru kerap memicu degradasi lahan dan kerusakan ekosistem, sedangkan lahan gandum di negara-negara produsen utama seperti Australia dan Kanada menyumbang emisi nitrogen yang signifikan akibat penggunaan pupuk berlebihan.
Menggerakkan Roda Agribisnis Lokal
Di balik perdebatan nutrisi, potensi agribisnis sagu sesungguhnya bagai raksasa yang tertidur. Hingga kini, baru sekitar 4 persen lahan sagu yang termanfaatkan secara optimal. Produksi pati sagu nasional yang hanya mencapai 386 ribu ton pada 2022 masih kalah jauh dibandingkan Filipina dan Thailand yang lebih agresif mengekspor produk olahan. Padahal, Indonesia sudah mencatatkan ekspor pati sagu senilai 150 juta dolar Amerika Serikat pada 2023, terutama ke Jepang dan Eropa untuk memenuhi kebutuhan industri pangan sehat yang terus tumbuh.
Sementara itu, komoditas singkong yang menjadi bahan baku tapioka juga menghadapi tantangan serupa. Ditanam di lahan seluas 1,3 juta hektare dengan produksi 16 juta ton umbi per tahun, sebagian besar hasilnya masih diolah secara tradisional. Thailand, yang justru memiliki lahan lebih kecil, mampu menguasai pasar global tapioka berkat penguatan industri olahan. Sementara Indonesia masih berkutat dengan penjualan produk mentah tanpa nilai tambah yang signifikan.
Beberapa perusahaan mulai memelopori industrialisasi sagu. Di Riau, PT Eco Sago mampu memproduksi hingga 20 ton tepung sagu per hari dengan teknologi modern. Produk mereka kini menjadi pemasok bagi industri mi dan kue, serta diekspor ke beberapa negara Asia. Meski begitu, upaya ini masih terkendala oleh minimnya literasi petani mengenai pengolahan pascapanen dan terbatasnya akses pasar yang stabil.
Membangun Kemandirian Pangan, Mewujudkan Kedaulatan Ekonomi
Melihat besarnya potensi ini, Indonesia perlu melakukan lompatan besar untuk menjadikan sagu dan singkong sebagai tulang punggung ketahanan pangan. Investasi pada teknologi pengolahan modern menjadi kunci utama, diikuti dengan kebijakan fiskal yang mendorong tumbuhnya industri pengolahan dalam negeri. Pemerintah perlu segera merumuskan regulasi progresif, mulai dari pembatasan impor terigu secara bertahap, hingga pemberian insentif fiskal bagi industri pangan lokal yang menggunakan bahan baku sagu dan tapioka.
Kampanye edukasi juga harus digalakkan untuk mengubah preferensi masyarakat yang selama ini terlalu terikat pada produk berbasis terigu. Konsumen perlu diberikan pemahaman bahwa produk olahan berbasis sagu dan tapioka bukan hanya sehat, tetapi juga menjadi pilihan cerdas untuk mendukung keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan petani lokal.
Proyeksi Kementerian Pertanian menunjukkan, jika Indonesia mampu mengoptimalkan satu juta hektare lahan sagu saja, potensi produksi bisa mencapai lima juta ton pati per tahun. Angka ini cukup untuk menggantikan hingga 30 persen kebutuhan impor terigu nasional.
Indonesia kini berada di titik krusial untuk menentukan masa depannya. Apakah akan terus menjadi pasar empuk bagi gandum impor, atau bangkit sebagai kekuatan baru di bidang agribisnis sagu dunia? Di tangan para pemangku kebijakan dan masyarakat, pilihan ini harus segera diambil.
Sagu bukan sekadar produk pangan, melainkan simbol kedaulatan dan keberlanjutan. Di balik butiran patinya, tersimpan harapan bagi petani di tanah Papua, Maluku, dan Riau untuk bangkit dari keterpurukan. Di sana pula tertanam kekuatan untuk membawa Indonesia keluar dari jerat ketergantungan dan menjadi bangsa yang benar-benar berdikari di bidang pangan.
Saatnya menempatkan sagu sebagai “emas hijau” baru Indonesia. Karena di balik kesederhanaannya, sagu memegang kunci besar bagi masa depan ketahanan pangan dan keberlanjutan bangsa ini.

Praktisi
25 Pengikut

Menjemput Kejayaan Baru Rempah
Kamis, 3 Juli 2025 10:41 WIB
Menjaga Tanah, Menjaga Masa Depan
Selasa, 24 Juni 2025 13:51 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler